Pertumbuhan dan Kesenjangan

  Jumat, 16 Maret 2007

Bank Indonesia dua hari lalu memaparkan data yang menarik berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan sosial. Ternyata, pertumbuhan ekonomi yang dicapai, terutama pascakrisis ekonomi, tidak dinikmati secara merata oleh masyarakat Indonesia.

Kenyataannya memang seperti itu. Pada 2006 lalu pertumbuhan ekonomi yang dicapai adalah 5,5 persen, lumayan meski masih di bawah target yang ditetapkan. Tapi, yang jadi masalah adalah bahwa pertumbuhan itu hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia.

Kita coba simak data pendapatan per kapita. Dalam tiga tahun terakhir ini, pendapatan per kapita Indonesia naik dari sekitar 1.200 dolar AS per tahun menjadi 1.660 dolar AS. Tapi di sisi lain, jumlah penduduk miskin justru bertambah. Dalam satu tahun saja, 2005 ke 2006, jumlah penduduk miskin bertambah empat juta menjadi 39,1 juta.

Dari situ terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang pas-pasan itu hanya dinikmati oleh kalangan menengah atas, sedangkan kalangan bawah tidak banyak menikmati, bahkan ada yang sama sekali tidak menikmati. Mereka yang kaya bertambah kaya, dan yang miskin terus miskin, yang hampir miskin pun kemudian menjadi miskin.

Dengan kata lain, kesenjangan yang terjadi makin melebar. Kesenjangan melebar ini tecermin dari rasio gini, sebuah rasio yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat kesenjangan. Semakin tinggi rasionya, semakin lebar kesenjangannya. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), pada 2005 berada rasio gini Indonesia berada di posisi 0,340, kemudian naik menjadi 0,345 pada 2006.

Dalam kasus ini, kesenjangan bukan hanya terhadap kaya-miskin, tetapi juga ada kesenjangan regional. Dari data yang sama terjadi ketimpangan kegiatan ekonomi di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dengan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, pertumbuhan eknomi rata-rata berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang 5,5 persen. Jakarta dan Banten misalnya, bahkan berada di posisi 6,4 persen. Sebaliknya, Sumatra, Kalimantan, Papua, Maluku, dan Sulawesi hanya berada pada kisaran 4,57 persen.

Dari berbagai fakta tersebut, terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi kurang berkualitas. Pertumbuhan ekonomi hanya bertumpu pada sektor padat modal seperti telekomunikasi, pengangkutan, pertambangan, bangunan listrik, dan jasa. Sementara sektor padat karya seperti pertanian, perdagangan, dan infrastruktur minim.

Apa dampaknya? Ketika pertumbuhan ekonomi tidak banyak menjangkau sektor yang padat karya maka daya serap tenaga kerja rendah. Pada masa lalu, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap hampir 400 ribu tenaga kerja, belakangan ini setiap satu persen pertumbuhan hanya menyerap sekitar 200 ribu tenaga kerja. Akibatnya pengangguran makin membengkak, begitu juga penduduk miskin.

Ke depan, Pemerintah perlu memperhatikan kualitas pertumbuhan ekonomi yang mau tidak mau harus ditingkatkan. Sektor padat karya perlu mendapat perhatian. Proyek-proyek padat karya seperti pembangunan jalan tol misalnya, akan sangat membantu dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus merekrut tenaga kerja.

Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas akan bisa dinikmati oleh semua masyarakat, mulai dari golongan atas sampai golongan bawah, mulai dari Jawa sampai Papua. Pertumbuhan ekonomi berkualitas juga akan mempersempit jurang kesenjangan, mengurangi jumlah orang miskin, dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja.

( )